Cut Nyak Dien merupakan salah satu
tokoh pahlawan wanita di Indonesia yang saya kagumi. Perannya sebagai pahlawan
wanita di Indonesia ini, sangat menginspirasi banyak wanita Indonesia untuk
bekerja dan berjuang. Cut Nyak Dien juga sering dijadikan sebagai lambang tokoh
wanita kuat, tangguh, dan juga berani.
Bagaimana tidak? Keberadaan dan
kedudukan wanita Indonesia pada zaman perang Belanda masih sangat rendah.
Namun, ia dengan gagah ikut ke medan perang bersama dengan suaminya. Bahkan,
ketika ia harus kehilangan suaminya karena gugur pada saat melawan Belanda, ia
tidak menghentikan semangat juangnya untuk melawan pasukan Belanda agar keluar
dari Indonesia. Luar biasa sekali, bukan?
Cut Nyak Dien lahir pada tahun 1848
dari keluarga bangsawan Aceh. Dari garis ayahnya, Cut Nyak Dien merupakan
keturunan langsung Sultan Aceh. Ia menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga pada
usia masih belia tahun 1862 dan memiliki seorang anak laki-laki.
Ketika Perang Aceh meluas tahun
1873, Cut Nyak Dien memimpin perang di garis depan, melawan Belanda yang
mempunyai persenjataan lebih lengkap. Setelah bertahun-tahun bertempur,
pasukannya terdesak dan memutuskan untuk mengungsi ke daerah yang lebih
terpencil. Dalam pertempuran di Sela Glee Tarun, Teuku Ibrahim gugur.
Kendati demikian, Cut Nyak Dien
melanjutkan perjuangan dengan semangat berapi-api. Kebetulan saat upacara
penguburan suaminya, ia bertemu dengan Teuku Umar yang kemudian menjadi suami
sekaligus rekan perjuangan.
Bersama, mereka membangun kembali
kekuatan dan menghancurkan markas Belanda di sejumlah tempat. Namun, ujian
berat kembali dirasa ketika pada 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur. Sementara itu,
Belanda --yang tahu pasukan Cut Nyak Dien melemah dan hanya bisa menghindar--
terus melakukan tekanan.
Akibatnya, kondisi fisik dan
kesehatan Cut Nyak Dien menurun, namun pertempuran tetap ia lakukan. Melihat
kondisi seperti itu, panglima perangnya, Pang Laot Ali, menawarkan menyerahkan
diri ke Belanda. Tapi Cut Nyak Dien malah marah dan menegaskan untuk terus
bertempur.
Akhirnya Cut Nyak Dien berhasil
ditangkap dan untuk menghindari pengaruhnya terhadap masyarakat Aceh, ia
diasingkan ke Pulau Jawa, tepatnya ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat
pengasingannya, Cut Nyak Dien yang sudah renta dan mengalami gangguan
penglihatan, mengajar agama. Ia tetap merahasiakan jati diri sampai akhir
hayatnya.
Ia wafat pada 6 November 1908 dan
dimakamkan di Sumedang. Makamnya baru diketahui secara pasti pada tahun 1960
kala Pemda Aceh sengaja melakukan penelusuran. Perjuangan Cut Nyak Dien membuat
seorang penulis Belanda, Ny Szekly Lulof, kagum dan menggelarinya "Ratu
Aceh".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar